Rancangan Undang – undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (RUU Pilkada) saat ini tengah dibahas di Kemendagri dan DPR. Panja RUU Pilkada DPR yang saat ini sedang menggodok RUU ini dihadapkan dalam 3 opsi yang menjadi pro dan kontra antar fraksi di DPR. Opsi pertama, pasangan Gubernur , Walikota dan Bupati dipilih langsung seperti sekarang. Dalam opsi ini fraksi yang mendukung adalah PDIP, Hanura, PKB. Opsi kedua, Pasangan Gubernur , Walikota dan Bupati dipilih oleh DPRD didukung oleh Fraksi Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKS dan Gerindra. Opsi ketiga, Gubernur dipilih langsung namun Bupati dan Walikota dipilih oleh DPRD.
Bagaimana jika kelak nanti RUU Pilkada ini benar – benar disahkan dan memutuskan bahwa kepala daerah akan dipilih oleh DPRD dan tidak dipilih langsung oleh rakyat. Bukankah instrumen politik yang digunakan dengan basis penentuan di tingkat legislatif telah benar – benar membawa demokrasi kita mengalami kemunduran. Suatu kemunduran yang sangat drastis mengingat hak politik yang dimiliki oleh setiap warga negara secara otomatis akan sirna dengan diberlakukannya RUU ini.
Menarik melihat alasan dari para legislator yang tergabung dalam fraksi yang kebanyakan dari koalisi merah putih terhadap disahkannya RUU Pilkada dengan mekanisme pemilihan melalui DPRD. Alasan penghematan anggaran dan banyaknya praktik politik uang menjadi alasan yang paling sering dilontarkan oleh fraksi yang pro tersebut. Lantas apakah alasan tersebut bisa diterima begitu saja sehingga harus mengorbankan hak – hak konstitusional setiap warga Negara ?.
Continue reading